SEJARAH PANCASILA
1 Juni merupakan hari
bersejarah, hari dilahirkannya Pancasila sebagai dasar negara bangsa Indonesia.
Beberapa tahun silam, masyarakat belum begitu mengenal Hari Lahir Pancasila dan
perayaannya terlihat kalah meriah dibandingkan dengan peringatan hari-hari
nasional lain seperti Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 10 Mei, Hari
Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, apalagi dengan Tahun
Baru Masehi dan Hari Raya Idul Fitri. Hampir seluruh masyarakat Indonesia mulai
anak-anak hingga orang tua hafal lima sila dalam Pancasila, akan tetapi
implementasinya di kehidupan sehari-hari masih begitu ramai diperbincangkan.
Oleh karena itu, Presiden Joko
Widodo membuat kebijakan, merayakan Hari Lahir Pancasila 1 Juni secara
besar-besaran di Gedung Merdeka Bandung dan menjadikan 1 Juni sebagai hari
libur nasional. Ini sebagai usaha pemerintah agar masyarakat semakin menghayati
dan menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sebagai buah
perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan begitu diagungkan layaknya
barang keramat. Hal ini wajar, karena Pancasila merupakan hasil keringat dan
cucuran darah para pejuang bangsa Indonesia selama tiga setengah abad hingga akhirnya
diberikan karunia Allah berupa kemerdekaan dan terbebas dari imperialisme
Barat. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pihak yang berusaha
menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup menggantikan agama. Agama ingin
disisihkan oleh Pancasila, bukannya memberi landasan dan mewarnai Pancasila.
Tak ayal, Pancasila pun ingin menggantikan Islam, bukannya Islam yang melandasi
Pancasila. Padahal, kata-kata kunci dalam Pancasila seperti “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, “adil dan beradab”, dan “hikmat” adalah istilah-istilah yang sangat
bernuansa Islam.
Selain itu, jika mau
menengok sejarah, maka kita akan menemukan bahwa Pancasila merupakan hasil
perundingan para pejuang proklamasi negara Indonesia yang berlandaskan Islam
dan diakui oleh para pengasas Pancasila itu sendiri. Dengan melihat sejarah,
harapannya kita dapat menempatkan Pancasila secara benar dalam kehidupan dan
tidak selalu menjadikan Syariah Islam sebagai batu sandungan untuk menerapkan
Pancasila. Sebaliknya, pengamalan Pancasila yang berlandaskan Islam akan
menjadi lebih sempurna.
Ir.
Soekarno dan Pembuatan Konsep Awal Pancasila
Kita mulai perjalanan
sejarah kita dari masa-masa akhir pendudukan Jepang di Indonesia. Dengan
pemberontakan Tentara Pembela Tanah Air – Peta, 4 Mei 1945 M, Jumat Legi, 21
Jumadal Ula 1364 H, di Pangalengan Bandung, guna meredam solidaritas kalangan
politisi di Jakarta, Panglima Tentara Wilayah Ke-7 Jenderal Itagaki Sishiro di
Singapura, melancarkan sistem persenjataan sosial politik – sisospol dengan
memberikan izin Dokuritsu Zyunbi Tyosakai – Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dibentuk pada 16-18 Mei 1945 M. Dari nama ini
dalam bahasa Jepangnya tanpa disebut dengan Indonesia. Dalam Janji Kemerdekaan
tidak disebut kapan kemerdekaan akan diberikan, hanya disebutkan di Kelak
Kemudian Hari. Demikian pula penamaan Dokuritsu Zyunbi Iinkai – Panitia
Persiapan Kemerdekaan (PPK), tidak disebutkan Indonesia.
Bala Tentara Jepang yang
sedang terpojokkan dalam perangnya, melancarkan bahasa politiknya yang dipenuhi cunning
– kelicikan. Dengan strategem permits – mengizinkan bangsa
Indonesia mempersiapkan dirinya seperti benar-benar akan menerima kemerdekaan
dari Jepang. Padahal, dengan cunning – kelicikan ini, dikondisikan
agar bangsa Indonesia mengubah apa yang pernah dilakukan yakni gerakan protes
sosial yang telah digerakkan oleh Ulama dan Santri, serta perlawanan
bersenjatanya yang dipimpin oleh Tentara Pembela Tanah Air – Peta bersama
ulama, menjadi gerakan damai yang menguntungkan Bala Tentara Jepang. Karena itu, Saiko
Shikikan melancarkan cunning juggles berupa:
Pertama, Janji
Kemerdekaan, 7 September 1944 M, disebutkan di Kelak Kemudian Hari, tanpa
kepastian waktunya dan tanpa penyebutan Indonesia.
Kedua, Dokuritsu Zyunbi
Tyosakai – Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan – BPUPK, 16 Mei
1945 M, tanpa menyebutkan kemerdekaan untuk Indonesia.
Ketiga, Dokuritsu Zyunbi
Iinkai – Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK), 7 Agustus 1945 M, tanpa
menyebutkan Indonesia.
Dimulailah Sidang Perdana
pada 29 Mei 1945 M. Sidang Pertama ini, Wakil Ketua R.M.A.A. Kusumo digantikan
Drs. Muhammad Hatta.
Terbaca pula strategi Bala
Tentara Jepang dengan deislamisasi politiknya, selain diperkecilnya
jumlah perwakilan ulama di dalamnya, juga diangkatnya Ketua dan Wakil Ketuanya
dari kalangan Kejawen yang pernah menolak pelaksanaan cita persatuan
Indonesia dan sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial Belanda. Dari strategi
ini, Bala Tentara Jepang mempercayakan Ketua kepada Dr. Radjiman
Wediodiningrat, mantan ketua Budi Utomo, dan Wakil Ketua R.P. Suroso, mantan
Ketua P.V.P.N. (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputera) yang setia dengan
pemerintah penjajah Belanda.
Sidang Dokuritsu Zyunbi
Tyosakai terbagai dalam dua periode. Pertama, pada 29 Mei-1 Juni 1945
M, membicarakan masalah ideologi negara. Kedua, pada 10-14 Juni 1945
M membicarakan konstitusi negara.
Pada Sidang Perdana, di hari
ketiga pembicara yang terakhir, Ir. Soekarno, pada 1 Juni 1945 M, pemikiran
tentang Philosofische grondslag atai Landasan Dasar Falsafah Negara
yang diusulkan adalah Pancasila, terdiri dari: (1) kebangsaan; (2)
internasionalisme; (3) mufakat; (4) kesejahteraan; (5) ketuhanan. Jadi, dalam
pidato tersebut belum tersusun urutannya menjadi Lima Sila seperti Pancasila
yang berlaku hingga sekarang.
Pada pidato tersebut, Ir.
Soekarno sekaligus memberikan petunjuk bagaimana caranya bila umat Islam
benar-benar ingin memenangkan usahanya untuk memberlakukan Syariah Islam:
“Jikalau memang rakyat
Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di
sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita
pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan
sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam Badan Perwakilan ini.
Ibaratnya Badan Perwakilan
Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya
60, 70, 80, 90 yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam,
pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan
Perwakilan itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian
itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan agama
Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%,
90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Maka saya berkata, baru
jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan barulah Islam yang hanya di
atas bibir saja.”
Pada umumnya bagian pidato
tadi tidak dikutip kembali. Akibatnya, pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945
sebagai hari lahirnya Pancasila, tidak tergambarkan adanya petunjuk di dalamnya
bagaimana cara memenangkan Hukum Islam agar berlaku di Indonesia secara
Parlementer.
Mengapa para pemuka Islam
tetap berkeinginan untuk mendirikan Negara Islam? Hal ini diakibatkan di Nusantara
Indonesia, sebelum pendudukan Bala Tentara Jepang, telah berdiri sekitar 40
kesultanan atau kekuasaan politik Islam.
Satu kenyataan yang tidak
dapat dihindari, para ulama dan para politisi Islam, dalam perjuangan
nasionalnya membebaskan Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan menegakkan
Syariah Islam berhadapan dengan kalangan nasionalis netral agama, Kejawen, dan
Kristen, serta penjajah Bala Tentara Jepang.
Perjuangan ulama dalam
menegakkan nasionalisme Islam terbentur dengan realitas strategi deislamisasi
politik Bala Tentara Jepang dalam menciptakan Chuo Sangi In dan Dokuritsu
Zyunbi Tyosakai yang di dalamnya jumlah wakil ulama atau kalangan politisi
Islam hanya 15 wakil. Berarti hanya 25% dari 62 anggota. Jumlah wakil
nasionalis Islam dalam Panitia Sembilan juga hanya 4 orang, lebih kecil dari
wakil nasionalis sekuler berjumlah 5 orang.
Tidak beda dengan
pembentukan Dokuritsu Zyunbi Iinkai – Panitia Persiapan Kemerdekaan
pada 7 Agustus 1945 beranggotakan 21 pemimpin terdiri dari: 12 wakil Pulau
Jawa, 3 wakil Pulau Sumatra, 2 wakil Pulau Sulawesi, 1 wakil Pulau Kalimantan,
1 wakil Kepulauan Sunda Kecil, 1 wakil Kepulauan Maluku, dan 1 wakil Komunitas
Cina.
Konsep
Final Pancasila
Paginya, 18 Agustus 1945 M,
Sabtu Pahing, 10 Ramadlan 1364 H, diadakan pertemuan awal untuk merumuskan
dasar ideologi bangsa dan negara, Pancasila, serta konstitusi Undang-Undang
Dasar 1945 yang diikuti oleh: K.H. Wahid Hasyim (Nahdlatul
Ulama), Ki Bagus Hadikusumo (Persyarikatan Muhammadiyah),
Kasman Singodimejo (Persyarikatan Muhammadiyah), Muhammad Hatta (Sumatra
Barat), dan Teuku Muhammad Hasan (Aceh).
Pada pertemuan ini,
dibicarakan tentang perubahan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta, 22
Juni 1945 M, Jumat Kliwon, 11 Rajab 1364 H, yakni Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bunyi sila pertama
ini diambil dari isi Piagam Jakarta yang ditetapkan pada sidang BPUPK kedua
sebelumnya pada 10 Juli 1945 M. Telah disepakati dalam rapat BPUPK 10 Juli 1945
M bahwa Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, telah disepakati oleh semua komponen
bangsa Indonesia.
Soekarno menegaskan tentang
Piagam Jakarta dalam pidatonya di sidang BPUPK kedua 10 Juli 1945 M, “Saya
ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita
bersama, kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan,
saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” sudah diterima
Panitia ini.”
Akan tetapi, pada saat-saat
yang sangat genting, sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, kaum Kristen telah
melakukan tekanan-tekanan dan ultimatum agar semua kesepakatan itu dibatalkan.
Jika tidak, mereka memilih keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akhirnya, para tokoh Islam pun, karena kecintaan kepada kemerdekaan yang
diperjuangkan selama ratusan tahun, mau menerima tekanan-tekanan kaum minoritas
tersebut.
Pada 18 Agustus 1945 M,
Piagam Jakarta yang sudah disepakati di BPUPK dihapus, dengan alasan ada
keberatan dari pihak Kristen Indonesia Timur. Konon, datang seorang utusan dari
Indonesia Bagian Timur, melalui opsir Tentara Jepang yang waktu itu masih
berwenang di Jakarta. Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada Soekarno dan
Hatta untuk mencabut “tujuh kata” yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Kalau tidak, umat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak akan turut serta
dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Perubahan ini semula ditolak
baik oleh K.H. Wahid Hasyim maupun Ki Bagus Hadikusumo, seperti penolakan Bung
Karno dalam Rapat Pleno BPUPK pada 14 Juli 1945 M, sesudah penandatanganan
Piagam Jakarta, dengan alasan telah disetujui oleh seluruh Panitia Sembilan.
Namun, Bung Hatta malah mengusulkan untuk menghapus “Tujuh Kata” dalam Piagam
Jakarta yang telah disetujui Panitia Sembilan.
Dengan adanya pertemuan
khusus kelima wakil di atas akan mudah disetujui penghapusan tersebut.
Akhirnya, Ki Bagus Hadikusumo menyetujui penghapusan Tujuh Kata dalam Piagam
Jakarta tersebut, dengan syarat Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa.
Usul ini diterima oleh kelima wakil di atas.
Dari peristiwa persetujuan
inilah menjadikan perumusan final Pancasila sebagai dasar negara sehari sesudah
Proklamasi, 18 Agustus 1945 M, Sabtu Pahing, 10 Ramadlan 1364 H. Sila pertama
yang asalnya berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Mengomentari ultimatum pihak
Kristen pada sidang perumusan final Pancasila 18 Agustus 1945 M itu, Muhammad
Natsir menulis, “Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang
persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu bicara lagi.
Terserah apakah pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu konsekuensinya. Itu
berupa ultimatum. Ultimatum, bukan saja terhadap warga negara yang beragama
Islam di Indonesia. Tetapi pada hakekatnya terhadap Republik Indonesia sendiri
yang baru berumur 24 jam itu…. Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus 1945 kita
bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. InsyaAllah
umat Islam tidak akan lupa.”
K.H. Saifuddin Zuhri menulis
tentang masalah ini, “Dihapuskannya 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta itu boleh
dibilang tidak “diributkan” oleh umat Islam, demi memelihara persatuan dan demi
ketahanan perjuangan dalam revolusi Bangsa Indonesia, althans untuk
menjaga kekompakan seluruh potensi nasional mempertahankan Proklamasi 17
Agustus 1945 yang baru berusia 1 hari. Apakah ini bukan suatu toleransi
terbesar dari Ummat Islam Indonesia? Jika pada tanggal 18 Agustus 1945 yaitu
tatkala UUD 1945 disahkan Umat Islam “ngotot” mempertahankan 7 kata-kata dalam
Piagam Jakarta, barangkali sejarah akan menjadi lain, tetapi segalanya telah
terjadi. Umat Islam hanya mengharapkan prospek di masa depan, semoga segalanya
akan menjadi hikmah.”
Melihat beberapa komentar
para tokoh pejuang bangsa di atas, terlihat bahwa mereka menaruh harapan yang
kuat pada generasi Islam penerus bangsa agar Pancasila yang menjadi hasil
perundingan yang sangat pelik dan sarat cobaan intervensi tersebut dapat
digunakan secara benar untuk menerapkan Syariah Islam.
Dekrit Presiden yang
ditetapkan Ir. Soekarno pada 5 Juli 1959 M di Istana Merdeka juga menyatakan
bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 M menjiwai Undang-Undang
Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu Rangkaian Kesatuan dengan Konstitusi
Tersebut. Karena Pancasila merupakan bagian dari UUD 1945, maka ia juga satu
kesatuan dengan Piagam Jakarta sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 M. Secara
konstitusional, Pancasila dan Syariah Islam tidak bertentangan bahkan saling
menguatkan.
Epilog
Melihat keterangan diatas,
terlihat bahwa Pancasila merupakan hasil gentlement’s agreement (perundingan
anggota) para tokoh pejuang bangsa yang sangat diwarnai dengan usaha
penerapan Syariah Islam. Semangat penerapan Syariah Islam ini merupakan
harapan dan amanah para ulama, santri, sultan, dan seluruh umat Islam 350 tahun
silam yang telah mengorbankan jiwa dan darahnya untuk menegakkan agama Islam di
bumi Nusantara dan melawan keangkuhan imperialisme penjajah.
Oleh karena itu, jika masih
ada pihak-pihak yang berusaha menolak penerapan Syariah Islam untuk umat Islam
sendiri dengan alasan tidak sesuai dengan Pancasila, maka perlu ditanyakan
kembali pemahaman sejarahnya serta kecintaannya kepada bangsa dan negara.
Bangsa ini merdeka karena dukungan penuh umat Islam Indonesia yang menjadi
mayoritas. Jika hak mereka menjalankan agamanya masih terus dikebiri, mana hati
nurani kita kepada para pejuang bangsa meskipun mereka tidak mengharapkan
ucapan terima kasih kita kepada mereka? Wallahu A’lam.