Sabtu, 20 Mei 2017

PERTEMUAN KE 3 ( SEJARAH TERBENTUKNYA PANCASILA) 27 MARET 2017

SEJARAH PANCASILA

1 Juni merupakan hari bersejarah, hari dilahirkannya Pancasila sebagai dasar negara bangsa Indonesia. Beberapa tahun silam, masyarakat belum begitu mengenal Hari Lahir Pancasila dan perayaannya terlihat kalah meriah dibandingkan dengan peringatan hari-hari nasional lain seperti Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 10 Mei, Hari Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, apalagi dengan Tahun Baru Masehi dan Hari Raya Idul Fitri. Hampir seluruh masyarakat Indonesia mulai anak-anak hingga orang tua hafal lima sila dalam Pancasila, akan tetapi implementasinya di kehidupan sehari-hari masih begitu ramai diperbincangkan. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo membuat kebijakan, merayakan Hari Lahir Pancasila 1 Juni secara besar-besaran di Gedung Merdeka Bandung dan menjadikan 1 Juni sebagai hari libur nasional. Ini sebagai usaha pemerintah agar masyarakat semakin menghayati dan menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sebagai buah perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan begitu diagungkan layaknya barang keramat. Hal ini wajar, karena Pancasila merupakan hasil keringat dan cucuran darah para pejuang bangsa Indonesia selama tiga setengah abad hingga akhirnya diberikan karunia Allah berupa kemerdekaan dan terbebas dari imperialisme Barat. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pihak yang berusaha menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup menggantikan agama. Agama ingin disisihkan oleh Pancasila, bukannya memberi landasan dan mewarnai Pancasila. Tak ayal, Pancasila pun ingin menggantikan Islam, bukannya Islam yang melandasi Pancasila. Padahal, kata-kata kunci dalam Pancasila seperti “Ketuhanan Yang Maha Esa”, “adil dan beradab”, dan “hikmat” adalah istilah-istilah yang sangat bernuansa Islam.
Selain itu, jika mau menengok sejarah, maka kita akan menemukan bahwa Pancasila merupakan hasil perundingan para pejuang proklamasi negara Indonesia yang berlandaskan Islam dan diakui oleh para pengasas Pancasila itu sendiri. Dengan melihat sejarah, harapannya kita dapat menempatkan Pancasila secara benar dalam kehidupan dan tidak selalu menjadikan Syariah Islam sebagai batu sandungan untuk menerapkan Pancasila. Sebaliknya, pengamalan Pancasila yang berlandaskan Islam akan menjadi lebih sempurna.

Ir. Soekarno dan Pembuatan Konsep Awal Pancasila
Kita mulai perjalanan sejarah kita dari masa-masa akhir pendudukan Jepang di Indonesia. Dengan pemberontakan Tentara Pembela Tanah Air – Peta, 4 Mei 1945 M, Jumat Legi, 21 Jumadal Ula 1364 H, di Pangalengan Bandung, guna meredam solidaritas kalangan politisi di Jakarta, Panglima Tentara Wilayah Ke-7 Jenderal Itagaki Sishiro di Singapura, melancarkan sistem persenjataan sosial politik – sisospol dengan memberikan izin Dokuritsu Zyunbi Tyosakai – Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dibentuk pada 16-18 Mei 1945 M. Dari nama ini dalam bahasa Jepangnya tanpa disebut dengan Indonesia. Dalam Janji Kemerdekaan tidak disebut kapan kemerdekaan akan diberikan, hanya disebutkan di Kelak Kemudian Hari. Demikian pula penamaan Dokuritsu Zyunbi Iinkai – Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK), tidak disebutkan Indonesia.
Bala Tentara Jepang yang sedang terpojokkan dalam perangnya, melancarkan bahasa politiknya yang dipenuhi cunning – kelicikan. Dengan strategem permits ­ – mengizinkan bangsa Indonesia mempersiapkan dirinya seperti benar-benar akan menerima kemerdekaan dari Jepang. Padahal, dengan cunning – kelicikan ini, dikondisikan agar bangsa Indonesia mengubah apa yang pernah dilakukan yakni gerakan protes sosial yang telah digerakkan oleh Ulama dan Santri, serta perlawanan bersenjatanya yang dipimpin oleh Tentara Pembela Tanah Air – Peta bersama ulama, menjadi gerakan damai yang menguntungkan Bala Tentara Jepang. Karena itu, Saiko Shikikan melancarkan cunning juggles berupa:
Pertama, Janji Kemerdekaan, 7 September 1944 M, disebutkan di Kelak Kemudian Hari, tanpa kepastian waktunya dan tanpa penyebutan Indonesia.
Kedua, Dokuritsu Zyunbi Tyosakai – Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan – BPUPK, 16 Mei 1945 M, tanpa menyebutkan kemerdekaan untuk Indonesia.
Ketiga, Dokuritsu Zyunbi Iinkai – Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK), 7 Agustus 1945 M, tanpa menyebutkan Indonesia.
Dimulailah Sidang Perdana pada 29 Mei 1945 M. Sidang Pertama ini, Wakil Ketua R.M.A.A. Kusumo digantikan Drs. Muhammad Hatta.
Terbaca pula strategi Bala Tentara Jepang dengan deislamisasi politiknya, selain diperkecilnya jumlah perwakilan ulama di dalamnya, juga diangkatnya Ketua dan Wakil Ketuanya dari kalangan Kejawen yang pernah menolak pelaksanaan cita persatuan Indonesia dan sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial Belanda. Dari strategi ini, Bala Tentara Jepang mempercayakan Ketua kepada Dr. Radjiman Wediodiningrat, mantan ketua Budi Utomo, dan Wakil Ketua R.P. Suroso, mantan Ketua P.V.P.N. (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputera) yang setia dengan pemerintah penjajah Belanda.
Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyosakai terbagai dalam dua periode. Pertama, pada 29 Mei-1 Juni 1945 M, membicarakan masalah ideologi negara. Kedua, pada 10-14 Juni 1945 M membicarakan konstitusi negara.
Pada Sidang Perdana, di hari ketiga pembicara yang terakhir, Ir. Soekarno, pada 1 Juni 1945 M, pemikiran tentang Philosofische grondslag atai Landasan Dasar Falsafah Negara yang diusulkan adalah Pancasila, terdiri dari: (1) kebangsaan; (2) internasionalisme; (3) mufakat; (4) kesejahteraan; (5) ketuhanan. Jadi, dalam pidato tersebut belum tersusun urutannya menjadi Lima Sila seperti Pancasila yang berlaku hingga sekarang.
Pada pidato tersebut, Ir. Soekarno sekaligus memberikan petunjuk bagaimana caranya bila umat Islam benar-benar ingin memenangkan usahanya untuk memberlakukan Syariah Islam:
“Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam Badan Perwakilan ini.
Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan barulah Islam yang hanya di atas bibir saja.”
Pada umumnya bagian pidato tadi tidak dikutip kembali. Akibatnya, pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila, tidak tergambarkan adanya petunjuk di dalamnya bagaimana cara memenangkan Hukum Islam agar berlaku di Indonesia secara Parlementer.
Mengapa para pemuka Islam tetap berkeinginan untuk mendirikan Negara Islam? Hal ini diakibatkan di Nusantara Indonesia, sebelum pendudukan Bala Tentara Jepang, telah berdiri sekitar 40 kesultanan atau kekuasaan politik Islam.
Satu kenyataan yang tidak dapat dihindari, para ulama dan para politisi Islam, dalam perjuangan nasionalnya membebaskan Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan menegakkan Syariah Islam berhadapan dengan kalangan nasionalis netral agama, Kejawen, dan Kristen, serta penjajah Bala Tentara Jepang.
Perjuangan ulama dalam menegakkan nasionalisme Islam terbentur dengan realitas strategi deislamisasi politik Bala Tentara Jepang dalam menciptakan Chuo Sangi In dan Dokuritsu Zyunbi Tyosakai yang di dalamnya jumlah wakil ulama atau kalangan politisi Islam hanya 15 wakil. Berarti hanya 25% dari 62 anggota. Jumlah wakil nasionalis Islam dalam Panitia Sembilan juga hanya 4 orang, lebih kecil dari wakil nasionalis sekuler berjumlah 5 orang.
Tidak beda dengan pembentukan Dokuritsu Zyunbi Iinkai – Panitia Persiapan Kemerdekaan pada 7 Agustus 1945 beranggotakan 21 pemimpin terdiri dari: 12 wakil Pulau Jawa, 3 wakil Pulau Sumatra, 2 wakil Pulau Sulawesi, 1 wakil Pulau Kalimantan, 1 wakil Kepulauan Sunda Kecil, 1 wakil Kepulauan Maluku, dan 1 wakil Komunitas Cina.

Konsep Final Pancasila

Paginya, 18 Agustus 1945 M, Sabtu Pahing, 10 Ramadlan 1364 H, diadakan pertemuan awal untuk merumuskan dasar ideologi bangsa dan negara, Pancasila, serta konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang diikuti oleh: K.H. Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), Ki Bagus Hadikusumo (Persyarikatan Muhammadiyah), Kasman Singodimejo (Persyarikatan Muhammadiyah), Muhammad Hatta (Sumatra Barat), dan Teuku Muhammad Hasan (Aceh).
Pada pertemuan ini, dibicarakan tentang perubahan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 M, Jumat Kliwon, 11 Rajab 1364 H, yakni Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bunyi sila pertama ini diambil dari isi Piagam Jakarta yang ditetapkan pada sidang BPUPK kedua sebelumnya pada 10 Juli 1945 M. Telah disepakati dalam rapat BPUPK 10 Juli 1945 M bahwa Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, telah disepakati oleh semua komponen bangsa Indonesia.
Soekarno menegaskan tentang Piagam Jakarta dalam pidatonya di sidang BPUPK kedua 10 Juli 1945 M, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama, kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.”
Akan tetapi, pada saat-saat yang sangat genting, sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, kaum Kristen telah melakukan tekanan-tekanan dan ultimatum agar semua kesepakatan itu dibatalkan. Jika tidak, mereka memilih keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akhirnya, para tokoh Islam pun, karena kecintaan kepada kemerdekaan yang diperjuangkan selama ratusan tahun, mau menerima tekanan-tekanan kaum minoritas tersebut.
Pada 18 Agustus 1945 M, Piagam Jakarta yang sudah disepakati di BPUPK dihapus, dengan alasan ada keberatan dari pihak Kristen Indonesia Timur. Konon, datang seorang utusan dari Indonesia Bagian Timur, melalui opsir Tentara Jepang yang waktu itu masih berwenang di Jakarta. Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada Soekarno dan Hatta untuk mencabut “tujuh kata” yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Kalau tidak, umat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Perubahan ini semula ditolak baik oleh K.H. Wahid Hasyim maupun Ki Bagus Hadikusumo, seperti penolakan Bung Karno dalam Rapat Pleno BPUPK pada 14 Juli 1945 M, sesudah penandatanganan Piagam Jakarta, dengan alasan telah disetujui oleh seluruh Panitia Sembilan. Namun, Bung Hatta malah mengusulkan untuk menghapus “Tujuh Kata” dalam Piagam Jakarta yang telah disetujui Panitia Sembilan.
Dengan adanya pertemuan khusus kelima wakil di atas akan mudah disetujui penghapusan tersebut. Akhirnya, Ki Bagus Hadikusumo menyetujui penghapusan Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta tersebut, dengan syarat Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa. Usul ini diterima oleh kelima wakil di atas.
Dari peristiwa persetujuan inilah menjadikan perumusan final Pancasila sebagai dasar negara sehari sesudah Proklamasi, 18 Agustus 1945 M, Sabtu Pahing, 10 Ramadlan 1364 H. Sila pertama yang asalnya berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Mengomentari ultimatum pihak Kristen pada sidang perumusan final Pancasila 18 Agustus 1945 M itu, Muhammad Natsir menulis, “Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu konsekuensinya. Itu berupa ultimatum. Ultimatum, bukan saja terhadap warga negara yang beragama Islam di Indonesia. Tetapi pada hakekatnya terhadap Republik Indonesia sendiri yang baru berumur 24 jam itu…. Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus 1945 kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. InsyaAllah umat Islam tidak akan lupa.”
K.H. Saifuddin Zuhri menulis tentang masalah ini, “Dihapuskannya 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta itu boleh dibilang tidak “diributkan” oleh umat Islam, demi memelihara persatuan dan demi ketahanan perjuangan dalam revolusi Bangsa Indonesia, althans untuk menjaga kekompakan seluruh potensi nasional mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang baru berusia 1 hari. Apakah ini bukan suatu toleransi terbesar dari Ummat Islam Indonesia? Jika pada tanggal 18 Agustus 1945 yaitu tatkala UUD 1945 disahkan Umat Islam “ngotot” mempertahankan 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta, barangkali sejarah akan menjadi lain, tetapi segalanya telah terjadi. Umat Islam hanya mengharapkan prospek di masa depan, semoga segalanya akan menjadi hikmah.”
Melihat beberapa komentar para tokoh pejuang bangsa di atas, terlihat bahwa mereka menaruh harapan yang kuat pada generasi Islam penerus bangsa agar Pancasila yang menjadi hasil perundingan yang sangat pelik dan sarat cobaan intervensi tersebut dapat digunakan secara benar untuk menerapkan Syariah Islam.
Dekrit Presiden yang ditetapkan Ir. Soekarno pada 5 Juli 1959 M di Istana Merdeka juga menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 M menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu Rangkaian Kesatuan dengan Konstitusi Tersebut. Karena Pancasila merupakan bagian dari UUD 1945, maka ia juga satu kesatuan dengan Piagam Jakarta sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 M. Secara konstitusional, Pancasila dan Syariah Islam tidak bertentangan bahkan saling menguatkan.
Epilog
Melihat keterangan diatas, terlihat bahwa Pancasila merupakan hasil gentlement’s agreement (perundingan anggota) para tokoh pejuang bangsa yang sangat diwarnai dengan usaha penerapan  Syariah Islam. Semangat penerapan Syariah Islam ini merupakan harapan dan amanah para ulama, santri, sultan, dan seluruh umat Islam 350 tahun silam yang telah mengorbankan jiwa dan darahnya untuk menegakkan agama Islam di bumi Nusantara dan melawan keangkuhan imperialisme penjajah.
Oleh karena itu, jika masih ada pihak-pihak yang berusaha menolak penerapan Syariah Islam untuk umat Islam sendiri dengan alasan tidak sesuai dengan Pancasila, maka perlu ditanyakan kembali pemahaman sejarahnya serta kecintaannya kepada bangsa dan negara. Bangsa ini merdeka karena dukungan penuh umat Islam Indonesia yang menjadi mayoritas. Jika hak mereka menjalankan agamanya masih terus dikebiri, mana hati nurani kita kepada para pejuang bangsa meskipun mereka tidak mengharapkan ucapan terima kasih kita kepada mereka? Wallahu A’lam. 

PERTEMUAN KE 2 (URGENSI PANCASILA BAGI MAHASISWA) 13 MARET 2017

Urgensi Pendidikan Pancasila


         Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara Republik Indonesia seperti tercantum dalam alinea Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.

Pendidikan Pancasila  dapat dimaknai sebagai wadah untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik baik sebagai individu, maupun sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Dapat dipahami dengan menelaah dasar-dasar pendidikan pancasila sebagai bagian yang tidak terpisah dalam konsep pendukung capaian dalam penyelenggaraan pendidikan pancasila di perguruan tinggi. Dasar-dasar yang dimaksud yakni dasar filosofis, sosiologis, dan dasar yuridis yang akan diuraikan dalam artikel ini. 

    Sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah pengamat bahwa gerakan untuk merevitalisasi Pancasila saat ini semakin menunjukkan gejala yang menggembirakan. Forum-forum ilmiah di berbagai tempat telah diselenggarakan baik oleh masyarakat umum maupun kalangan akademisi. Tidak terkecuali lembaga negara yaitu MPR mencanangkan empat pilar berbangsa yang salah satunya adalah Pancasila. Memang ada perdebatan tentang istilah pilar tersebut, karena selama ini dipahami bahwa Pancasila adalah dasar negara, namun semangat untuk menumbuhkembangkan lagi, pancasila perlu disambut dengan baik. 
Undang undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang belum lama disahkan, secara eksplisit juga menyebutkan bahwa terkait dengan kurikulum nasional setiap perguruan tinggi wajib menyelenggarakan mata kuliah Pancasila, Kewarganegaraan, Agama dan Bahasa Indonesia. Menindaklanjuti undang undang tersebut, Dikti juga menawarkan berbagai hibah pembelajaran untuk keempat mata kuliah tersebut.
Pancasila adalah dasar filsafah negara indonesia, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu setiap warga negara Indonesia harus mempelajari, mendalami, menghayati, dan mengamalkan dalam segala bidang kehidupan. Pancasila merupakan warisan luar biasa dari pendiri bangsa yang mengacu kepada nilai-nilai luhur. Nilai nilai luhur yang menjadi panutan hidup tersebut telah hilang otoritasnya, sehingga manusia menjadi bingung. Kebingungan tersebut dapat menimbulkan krisis baik itu krisis moneter yang berdampak pada bidang politik, sekaligus krisis moral pada sikap perilaku manusia. 

Adapun dasar-dasar pendidikan pancasila tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 
1. Dasar Filosofis 
Pada saat Republik Indonesia diproklamasikan pasca Perang Dunia kedua, dunia dicekam oleh pertentangan ideologi kapitalisme dengan ideologi komunisme. Kapitalisme berakar pada faham individualisme yang menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak individu; sementara komunisme berakar pada faham sosialisme atau kolektivisme yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan individual. Kedua aliran ideologi ini melahirkan sistem kenegaraan yang berbeda. Faham individualisme melahirkan negara -negara kapitalis yang mendewakan kebebasan (liberalisme) setiap warga, sehingga menimbulkan perilaku dengan superioritas individu, kebebasan berkreasi dan berproduksi untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. 
Sementara faham kolektivisme melahirkan negara-negara komunis yang otoriter dengan tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak dari eksploitasi segelintir warga pemilik kapital. Pertentangan ideologi ini telah menimbulkan ‘perang dingin’ yang dampaknya terasa di seluruh dunia. Namun para pendiri negara Republik Indonesia mampu melepaskan diri dari tarikan-tarikan dua kutub ideologi dunia tersebut, dengan merumuskan pandangan dasar (philosophische grondslag) pada sebuah konsep filosofis yang bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan bisa berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation) antara dua ideologi dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak individu dan masyarakat diakui secara proporsional. 
2. Dasar Sosiologis 
Bangsa Indonesia yan g penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan Pancasila karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan (materil, formal, dan fungsional) yang ada dalam mas yarakat Ind onesia. Kenyataan objektif ini menjadikan Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap warga bangsa untuk taat pada nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak tertulis seperti adat istiadat, kesepakatan atau kesepahaman, dan konvensi. 
Kebhinekaan atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi, dimana agama, ras, etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan, menyebabkan ideologi Pancasila bisa diterima sebagai ideologi pemersatu. Data sejarah menunjukan bahwa setiap kali ada upaya perpecahan atau pemberontakan oleh beberapa kelompok masyarakat, maka nilai-nilai Pancasilalah yang dikedepankan sebagai solusi untuk menyatukan kembali. Begitu kuat dan ‘ajaibnya’ kedudukan Pancasila sebagai kekuatan pemersatu, maka kegagalan upaya pemberontakan yang terakhir (G30S/PKI) pada 1 Oktober 1965 untuk seterusnya hari tersebut dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. 
3. Dasar Yuridis 

Pancasila telah menjadi norma dasar negara dan dasar negara Republik Indonesia yang berlaku adalah Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945) junctis Keputusan Presiden RI Nomor 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Naskah Pembukaan UUD NRI 1945 yang berlaku adalah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan/di tetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sila -sila Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara filosofis-sosiologis berkedudukan sebagai Norma Dasar Indonesia dan dalam konteks politis-yuridis sebagai Dasar Negara Indonesia. Konsekuensi dari Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, secara yuridis konstitusional mempunyai kekuatan hukum yang sah, kekuatan hukum berlaku, dan kekuatan hukum mengikat. 
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pasal 39 ayat (2) menyebutkan, bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat: (a) Pendidikan Pancasila, (b) Pendidikan Agama, (c) Pendidikan Kewarganegaraan. Didalam operasionalnya, ketiga mata kuliah wajib dari kurikulum tersebut, dijadikan bagian dari kurikulum berlaku secara nasional. 
Sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 1999, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 30 tahun 1990 menetapkan status pendidikan Pancasila dalam kurikulum pendidikan tinggi sebagai mata kuliah wajib untuk setiap program studi dan bersifat nasional. Silabus pendidikan pancasila semenjak tahun 1983 sampai tahun 1999, telah banyak mengalami perubahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlaku dalam masyarakat, bangsa, dan negara yang berlangsung cepat, serta kebutuhan untuk mengantisipasi tuntunan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat disertai dengan pola kehidupan mengglobal. Perubahan dari silabus pancasila adalah dengan keluarnya keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Nomor: 265/Dikti/Kep/2000 tentang penyempurnaan kurikulum inti mata kuliah pengembangan kepribadian pendidikan pancasila pada perguruan tinggi Indonesia. Dalam kepurusan ini dinyatakan, bahwa mata kuliah pendidikan pancasila yang mencakup unsur filsafat pancasila, merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MKPK) pada susunan kurikulum inti perguruan tinggi di Indonesia mata kuliah pendidikan pancasila adalah mata kuliah wajib untuk diambil oleh setiap mahasiswa pada perguruan tinggi untuk program diploma/politeknik dan program sarjana. Pendidikan pancasila dirancang dengan maksud untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pancasila sebagai filsafat atau tata nilai bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional dengan segala implikasinya. 
Selanjutnya, berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 22/UU/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi, dan penilaian hasil belajar mahasiswa, telah ditetapkan bahwa pendidikan agama, pendidikan pancasila, dan kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi. Oleh karena itu, untuk melaksanakan ketentuan di atas, maka Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas mengeluarkan Surat Keputusan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruan tinggi. Berdasarkan UU No. 20/2003 tentang sistem pendidikan, maka, Direktur Jendral Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat keputusan No. 43/Dikti/Kep./2006 tentang kampus-kampus pelaksanaan kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian di perguruan tinggi, SK ini adalah penyempurnaan dari SK yang lalu. 
Tujuan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi 

Dengan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, diharapkan dapat tercipta wahana pembelajaran bagi para mahasiswa untuk secara akademik mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa dan negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. 
Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari pendidikan Nasional bertujuan untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional yang ada merupakan rangkaian konsep, program, tata cara, dan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional yang diamanatkan Undang -Undang Dasar Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi pun merupakan bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penjabaran secara spesifik sehubungan dengan tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi adalah untuk: 
  1. Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa melalui revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  1. Memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar Pancasila kepada mahasiswa sebagai warga negara Republik Indonesia, serta membimbing untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  1. Mempersiapkan mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui sistem pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
  1. Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kecintaan pada tanah air dan kesatuan bangsa, serta penguatan masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat berlandaskan Pancasila, untuk mampu berinteraksi dengan dinamika internal dan eksternal masyarakat bangsa Indonesia.


Pendidikan Pancasila  berupaya mengantarkan warganegara Indonesia menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki  rasa kebangsaan dan cinta tanah air;  menjadi warga negara demokratis yang berkeadaban; yang memiliki daya saing: berdisiplin, dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. Pendidikan pancasila adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat (Zamroni, dalam ICCE, 2003)

Dalam upaya merespon kondisi tersebut, pemerintah perlu mengantisipasi agar tidak menuju kearah keadaan yang lebih memprihatinkan. Salah satu solusi yang dilakukan oleh pemerintah, dalam menjaga nilai-nilai panutan dalam berbangsa dan bernegara secara lebih efektif yaitu melalui bidang pendidikan. Oleh karena itu, tujuan pendidikan pancasila yang akan diuraikan dalam artikel ini sasarannya adalah bagi para mahasiswa-mahasiswi di perguruan tinggi. 

Bangsa Indonesia yang plural secara sosiologis membutuhkan ideologi pemersatu Pancasila. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke generasi untuk menjaga keutuhan masyarakat bangsa. Pelestarian nilai-nilai Pancasila dilakukan khususnya lewat proses pendidikan formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai Pancasila tersebut dapat disemaikan dan dikembangkan secara terencana dan terpadu. 

Sumber :Sedikit Penjelasan Dosen Pendidikan Pancasila (Bapak Abdul Rahman Hamid)
    tipsserbaserbi.blogspot.co.id